Berita  

Tidak Semcerah Masa Lalu, Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia – Laporan tahunan yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company mencerminkan dampak negatif yang dirasakan oleh pelaku industri teknologi di Indonesia. Proyeksi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia mengalami penurunan, sementara investasi ke startup mengalami penurunan drastis.

Setiap tahun, riset yang disebut e-Conomy Sea menjadi acuan bagi investor, pelaku bisnis, dan pemerintah untuk mengukur perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Laporan tahunan ini menjadikan investor dan perusahaan asing tertarik untuk menginvestasikan miliaran dolar AS ke startup di Indonesia.

Meskipun dunia terkena dampak pandemi Covid-19, potensi ekonomi digital di Indonesia masih dianggap cerah oleh Google, Temasek, dan Bain & Company.

Pembatasan aktivitas yang diterapkan oleh pemerintah di seluruh dunia untuk menghentikan penyebaran Covid-19 justru menjadi katalis pertumbuhan ekonomi digital. Masyarakat Indonesia yang sebelumnya sulit beradaptasi dengan layanan dan platform digital, terpaksa berpindah ke layanan tersebut, mulai dari berbelanja kebutuhan sehari-hari hingga belajar dan bekerja secara online.

Namun, perpindahan ke platform dan layanan digital tidak bersifat permanen. Ketika pembatasan dicabut, banyak konsumen kembali ke kebiasaan sebelum pandemi. Perkembangan ekonomi digital terhenti akibat situasi di pasar keuangan global yang ketat, yang membuat investor tidak seheboh dulu dalam memberikan modal kepada startup.

Dalam laporan e-Conomy Sea 2023, perubahan ini terlihat dari revisi proyeksi nilai ekonomi digital di Indonesia. Pertumbuhan nilai produk kotor (GMV) yang dilakukan melalui aktivitas ekonomi digital mengalami penurunan.

Menurut laporan 2023, nilai ekonomi digital Indonesia pada 2022 hanya sebesar US$ 76 miliar (Rp 1.206 triliun) pada 2022. Padahal dalam laporan 2022, GMV ekonomi digital Indonesia pada 2022 diperkirakan mencapai US$ 77 miliar (Rp 1.222 triliun).

Dampak perlambatan pada 2022 ini juga akan terasa pada masa depan. Jika dalam laporan 2022, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai US$ 130 miliar (Rp 2.063 triliun) pada 2025, laporan 2023 memperkirakan GMV yang tercapai pada 2025 hanya sebesar US$ 109 miliar (Rp 1.730 triliun).

Pada tahun ini, ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai nilai US$ 82 miliar (Rp 1.301 triliun).

Sektor transportasi online seperti ojek online adalah salah satu sektor yang paling terpengaruh dengan perubahan proyeksi tersebut. Google, Temasek, dan Bain & Company pada 2022 memprediksi nilai bisnis transportasi online dan pesan antar di Indonesia mencapai US$ 15 miliar (Rp 238 triliun) pada 2025. Namun, dalam laporan 2023, proyeksi nilai tersebut dipangkas lebih dari 40% menjadi US$ 9 miliar (Rp 142,8 triliun) pada 2025.

Perubahan proyeksi juga terlihat dari arus investasi yang masuk ke perusahaan teknologi di Indonesia. Pada 2021, investasi ke startup Indonesia mencapai puncaknya dengan nilai US$$ 9,1 miliar (Rp 144 triliun) dalam 649 kesepakatan pendanaan. Namun, pada 2022, nilai investasi menurun menjadi US$ 5,1 miliar (Rp 80,9 triliun).

Selama 6 bulan pertama tahun ini, modal yang masuk ke startup Indonesia mengalami penurunan drastis, hanya sekitar US$ 400 juta (Rp 6,35 triliun) dalam 100 kesepakatan pendanaan. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, terdapat 302 kesepakatan dengan nilai total US$ 3,3 miliar (Rp 52,37 triliun).

Namun, meskipun demikian, laporan e-Conomy Sea 2023 masih optimistis. Inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang semakin normal diharapkan menjadi titik cerah. Kejadian konsumen yang mengalihkan diri dari platform digital karena harga dan biaya yang lebih tinggi juga diharapkan dapat terkompensasi oleh pelanggan setia atau yang disebut dengan “sticky” dalam bahasa Inggris.

(Artikel ini telah tayang di CNBC Indonesia dengan judul “Potensi Ekonomi Digital RI Dipangkas, Investasi ke Startup Jeblok”)