Pada awal 2024, sejumlah kota di pesisir Jawa Tengah seperti Demak, Pati, Semarang, dan Kudus, terendam banjir, yang menyebabkan spekulasi tentang munculnya Selat Muria. Namun, Selat Muria sendiri sebenarnya sudah lama hilang, setelah dulunya memisahkan Pulau Jawa dan Gunung Muria, sehingga selat tersebut menjadi daratan sekitar 300 tahun lalu.
Menurut Pakar Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eko Soebowo, penurunan tanah di wilayah Semarang, Demak, dan sekitarnya bisa mencapai intensitas tertinggi hingga 10 sentimeter per tahun tergantung pada karakteristik tanah dan faktor-faktor pendukung penurunan tanah, seperti faktor alami dan faktor antropogenik yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Eko menjelaskan bahwa faktor alami seperti karakteristik tanah sedimen muda dan aktivitas tektonik dapat menyebabkan penurunan muka tanah sekitar 1 hingga beberapa sentimeter per tahun. Sementara faktor antropogenik, seperti infrastruktur tanah lunak dan eksploitasi air tanah, menjadi kontributor terbesar yang dapat menyebabkan penurunan hingga 7-8 sentimeter per tahun.
Meskipun ada spekulasi bahwa banjir dapat menyebabkan munculnya Selat Muria kembali, Eko menegaskan bahwa banjir sebenarnya tidak menjadi faktor penyebab tersebut. Sebaliknya, banjir malah akan membuat daratan menjadi lebih tinggi karena akan menyebabkan sedimentasi di daerah selat, bukan menyebabkan terbentuknya selat lagi.
Dengan demikian, penurunan permukaan tanah yang teramati di wilayah tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor alami dan antropogenik, bukan akibat banjir, sehingga potensi munculnya Selat Muria kembali tidak sepenuhnya berkaitan dengan banjir.