Amerika Serikat (AS) saat ini dihadapkan pada ancaman serangan siber yang semakin intensif dari China. Para pejabat FBI telah memberikan peringatan tentang peningkatan serangan yang ditujukan ke infrastruktur kritis AS. Ancaman ini terkait dengan kasus kebocoran yang terjadi dan dinyatakan sebagai tindakan kelompok hacker yang didukung oleh pemerintah China.
Serangan tersebut dilaporkan telah menyusup ke sektor-sektor vital di AS, seperti telekomunikasi, energi, dan perairan. Biasanya, serangan jenis ini sulit terdeteksi dalam waktu yang lama, demikian seperti yang dilaporkan oleh TechSpot. Dalam wawancara dengan The Register, Deputi Asisten Direktur FBI, Cynthia Kaiser menjelaskan bagaimana para penyerang yang didukung oleh pemerintah China menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam operasi serangan mereka.
Meskipun tidak semua usaha penyerangan China berhasil, penyusunan AI menjadikan serangan tersebut lebih cepat dan efisien. Dampak penggunaan AI dalam serangan siber sangat terlihat, terutama setelah para penyerang berhasil masuk ke dalam suatu jaringan. Di sinilah AI membantu dalam memetakan jaringan dengan lebih efektif dan mengidentifikasi langkah-langkah selanjutnya.
Para pelaku serangan ini cenderung memanfaatkan celah keamanan yang tidak diperbaiki untuk menyusup ke dalam sistem. Mereka bahkan menerapkan serangan secara bertahap, berpindah-pindah antara jaringan bisnis dan teknologi operasional. Meskipun ada perubahan di pemerintahan AS, pendekatan FBI dalam menanggapi pelaku negara dan penjahat siber tidak berubah.
Seiring dengan adopsi AI dalam operasi siber, China dan kelompok penyerang siber telah menunjukkan penggunaan taktik berbasis AI yang semakin luas. Penggunaan teknologi AI juga memunculkan bentuk-bentuk penipuan baru, seperti teknologi deepfake yang memungkinkan penjahat untuk menipu karyawan dengan identitas palsu. Krisis keamanan siber semakin meningkat, oleh karena itu, semua pihak harus mewaspadai tindakan penipuan yang semakin canggih dengan berkembangnya teknologi AI.