NASA baru saja menerima alokasi anggaran sebesar US$ 10 miliar (sekitar Rp 161,7 triliun) untuk misi perjalanan ke Bulan dari pemerintah Amerika Serikat. Dana tersebut akan digunakan oleh NASA untuk membangun dua sistem peluncuran roket Space Launch System (SLS) untuk misi Artemis IV dan Artemis V. Selain itu, sebagian dana juga akan dialokasikan untuk membangun stasiun luar angkasa pertama yang mengorbit Bulan guna memastikan kehadiran manusia secara berkesinambungan di Bulan.
Elon Musk, CEO SpaceX, sebelumnya sempat menentang program ini karena kritik terhadap sistem pendorong roket SLS yang hanya bisa digunakan sekali. Namun, kini hubungan Musk dengan pemerintahan AS tidak sebaik dahulu setelah ia tersingkir dari lingkaran terdekat Presiden Donald Trump. Meskipun begitu, NASA tetap melanjutkan rencananya dan menerima dana untuk mengirim sampel dari Mars kembali ke Bumi serta membangun wahana Orion sebagai kendaraan misi Artemis.
Meskipun sebagian warga Amerika Serikat lebih mengkhawatirkan ancaman asteroid dan perubahan iklim, mayoritas menganggap posisi AS sebagai pemimpin dalam teknologi dan pencapaian luar angkasa sangat penting. Meski begitu, preferensi mayoritas warga AS untuk mengalokasikan dana NASA pada pemantauan asteroid dan perubahan iklim menunjukkan perbedaan dengan kebijakan kongres AS yang lebih memilih fokus pada misi perjalanan luar angkasa Artemis.
Tak hanya itu, perusahaan swasta seperti SpaceX dan Blue Origin yang bekerja sama dengan NASA juga memainkan peran penting dalam kemajuan teknologi luar angkasa. Meskipun terjadi pergeseran dalam alokasi dana dan tujuan misi, kehadiran NASA sebagai pemain kunci dalam eksplorasi luar angkasa tetap diakui oleh warga AS. Proyek Artemis yang tengah berjalan sebagai upaya untuk mengirim manusia ke Bulan menunjukkan kerjasama antara lembaga pemerintah dan swasta yang semakin erat.