Saingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat di banyak negara, terutama bagi para lulusan baru yang kesulitan menemukan kesempatan. Krisis tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ketidakpastian ekonomi, konflik geopolitik, dan perkembangan teknologi AI yang menggantikan pekerjaan manusia. Banyak pencari kerja merasa frustasi setelah mengirimkan ratusan resume tanpa mendapat kabar baik satu pun, seperti yang dialami Harris, seorang lulusan UC Davis.
Menurut data Biro Statistik Ketenagakerjaan AS, tingkat perekrutan pada tahun 2025 mencapai titik terendah sejak pemulihan dari Great Recession. Teknologi juga memainkan peran penting dalam proses perekrutan, di mana platform online sekarang memudahkan pelamar untuk melamar posisi, tetapi mendapatkan pekerjaan yang diinginkan semakin sulit. Banyak pencari kerja, termasuk Marine, seorang paralegal yang baru saja di-PHK, mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan meskipun memiliki pengalaman kerja yang luas.
Situasi ini juga berdampak pada pemberi kerja, yang menerima lamaran yang tidak sesuai untuk setiap lowongan. Untuk mengatasi masalah ini, banyak perusahaan menggunakan teknologi AI untuk memproses dan menilai lamaran kerja. Platform online dapat membantu pencari kerja maju ke tahap wawancara lanjutan jika aplikasi mereka sesuai dengan kriteria pemberi kerja. Namun, banyak pelamar tidak pernah mencapai tahap wawancara langsung karena filter AI yang digunakan oleh perusahaan.
Para pencari kerja terpaksa mengandalkan teknologi, seperti ChatGPT, dalam penyusunan resume dan merespons panggilan penyaringan. Meskipun demikian, strategi tradisional seperti jejaring dan bersosialisasi dengan perekrut atau atasan mantan masih dianjurkan. Namun, keadaan sulit ini membuat jutaan orang terus berjuang mencari pekerjaan yang sesuai. Jadi, untuk saat ini, terus mencari merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia bagi para pelamar kerja yang berjuang menembus pasar kerja yang semakin kompetitif.