Kekhawatiran tentang pengaruh teknologi kecerdasan buatan (AI) terhadap pekerjaan manusia telah menjadi perbincangan yang semakin ramai, terutama setelah munculnya layanan ChatGPT dari OpenAI pada tahun 2022. Meskipun banyak pengusaha menolak bahwa AI akan menggantikan peran pekerja manusia, namun kenyataannya tampaknya berbeda. Banyak perusahaan teknologi besar saat ini melakukan pemutusan hubungan kerja massal sambil meningkatkan penggunaan AI yang lebih efisien untuk mengoptimalkan tugas-tugas mereka.
Beberapa CEO perusahaan terkemuka di Amerika Serikat mulai mengakui dampak besar AI terhadap pekerjaan manusia. Contohnya, CEO Ford Motor, Jim Farley, menyatakan bahwa AI akan menggantikan setengah dari semua pekerja kantoran di AS. Selain itu, CEO Amazon, Andy Jassy, juga memberikan peringatan tentang kemungkinan PHK di masa depan karena perusahaan terus mengintegrasikan AI dalam operasionalnya.
Tidak hanya itu, CEO perusahaan lainnya seperti Anthropic, Dario Amodei, juga mengingatkan bahwa AI berpotensi menghilangkan setengah dari semua pekerjaan white collar tingkat pemula. Selain itu, perusahaan seperti Shopify dan JPMorgan Chase juga telah mengumumkan rencana mereka untuk mengurangi jumlah staf dan menggantikannya dengan sistem AI, mengindikasikan pergeseran besar dalam pasar tenaga kerja.
Perkembangan AI juga telah memicu kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya resesi dan dampaknya bagi generasi lulusan yang berpeluang terkena langsung. Meskipun pekerjaan kerah biru terlihat lebih terlindungi, lulusan white collar di sektor teknologi, keuangan, hukum, dan konsultasi diprediksi akan lebih terpapar risiko dampak perubahan oleh AI. Maka dari itu, penting bagi para pekerja, terutama yang berada di industri tertentu, untuk mempersiapkan diri menghadapi transformasi yang dibawa oleh AI guna tetap relevan di pasar kerja yang terus berkembang.