Fenomena kumpul kebo di Indonesia semakin marak terjadi, termasuk di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut laporan dari The Conversation, pandangan tentang relasi dan pernikahan mengalami pergeseran di kalangan anak muda. Pernikahan dianggap sebagai hal normatif yang rumit, sehingga banyak yang memilih untuk hidup kumpul kebo sebagai bentuk hubungan yang murni dalam budaya Asia.
Meskipun kumpul kebo masih dianggap tabu di beberapa wilayah di Indonesia, studi terbaru menunjukkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi di wilayah Timur yang penduduknya mayoritas non-Muslim. Alasan terjadinya kumpul kebo ini berkaitan dengan faktor finansial, prosedur perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial di masyarakat.
Menurut peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ada sejumlah dampak negatif akibat kumpul kebo, khususnya bagi perempuan dan anak. Dari segi ekonomi, tidak ada jaminan finansial bagi anak dan ibu dalam kasus perceraian. Selain itu, kesehatan mental dan kepuasan hidup juga dapat terganggu akibat kumpul kebo, karena minimnya komitmen dan kepercayaan antar pasangan.
Data PK21 menunjukkan bahwa konflik sering terjadi di antara pasangan kumpul kebo, bahkan dapat meningkat hingga konflik kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang lahir dari hubungan kumpul kebo juga rentan mengalami gangguan pertumbuhan, kesehatan, dan masalah emosional. Hal ini dapat membuat anak mengalami kebingungan identitas dan kesulitan dalam menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.












